Widyo
Balikpapan Timur
Menyimak cerita yang disampaikan oleh murabbi saat liqo Jumat, 26 April
kemarin. Suatu kisah yang membuat kami semua peserta liqo berulang kali
mengucap “Masya Alloh”. Suatu kisah yang murabbi bacakan dari sebuah
buku berbahasa arab. Beliau membaca bahasa arabnya, lalu kemudian
menerjemahkannya dalam bahasa indonesia.
Kisah pertama, tentang Khalifah Abu Bakar as Shiddiq ra. Oh ya,
sebagimana judul yang saya tulis, kisah yang beliau sampaikan bernilai
tentang amalan shalih yang tersembunyi. Lanjut ke kisah Abu Bakar as
Shiddiq ra. Beliau menyampaikan, bahwa Abu Bakar mempunyai amalan
unggulan lagi tersembunyi yang membuat beliau dicintai rakyatnya, dan
tentunya dicintai Alloh. Suatu amalan yang tidak perlu diketahui banyak
orang. Cukup Abu Bakar sebagai subject amal shalih, seseorang yang
menerima amal shalih sebagai object, dan tentunya Alloh SWT sebagai Maha
Mengetahui.
Disetiap pagi sebelum matahari terbit, Abu Bakar selalu keluar rumah
menuju padang pasir nan jauh, mengunjungi sebuah tenda yang sudah usang,
jika diibaratkan jaman sekarang, mungkin seperti rumah berdinding bambu
yang reyot. Beliau masuk ke dalam tenda tersebut, setelah beberapa
waktu, beliau kemudian keluar. Suatu pagi, kepergian Abu Bakar diketahui
oleh Umar bin Khattab ra. Dihinggapi rasa penasaran oleh apa yang
dikerjakan sang khalifah, Umar diam-diam mengikuti beliau.
Dari kejauhan, Umar mengamati Abu Bakar masuk kedalam tenda usang,
lantas keluar setelah beberapa lama. Setelah Abu Bakar pergi, Umar masuk
ke tenda usang tersebut dan didapatinya seorang wanita tua dan tidak
mempunyai keluarga kemudian Umar bertanya.
”Wahai wanita tua hamba Alloh, siapakah laki-laki tadi?”
”Demi Alloh aku tidak tau anakku, aku hanyalah wanita tua yang buta lagi lumpuh” Jawab sang wanita
”Lalu apa yang dia kerjakan disini?” Tanya Umar kemudian
”Dia membersihkan rumahku, membuatkanku adonan (makanan) dan memerah susu dari hewan ternakku”
Kemudian dengan meneteskan air mata, Umar berkata
”Wahai Abu Bakar, engkau benar-benar telah membuat khalifah yang dipilih sesudahmu dalam kepayahan”.
Kalimat Umar bukan merupakan suatu ratapan, namun sebuah bentuk
kekaguman kepada seorang Abu Bakar, yang selalu menjadi yang utama dalam
hal beramal shalih. Umar seolah-olah kasihan kepada khalifah yang
terpilih setelah kepemimpinan Abu Bakar, kasihan karena kelak ia ‘harus’
mencontoh Abu Bakar yang amaliyah hariannya begitu luar biasa, seolah
sulit untuk diikuti.
Cerita kedua, ketika Umar bin Khattab ra menjadi khalifah, beliau sedang
berjalan-jalan hingga wilayah tepi Madinah. Lagi-lagi, jika diibaratkan
jaman sekarang, mungkin seperti di gugusan pulau terluar dari wilayah
Indonesia, yang -mungkin- belum ada media semacam televisi, radio,
apalagi internet, pelosoookkk banget. Coba cek google maps, cari
'sangihe'. Kurang lebih itulah gambarannya jika di Indonesia. Umar
kemudian bertemu seorang laki-laki yang nampak lelah dan gelisah.
”Siapakah kamu?” Tanya Umar
”Aku adalah seorang pendatang, aku kemari untuk mencari khalifah, aku ada urusan dengannya,” jawab si lelaki
Ya, saya mengambil contoh gugusan pulau terluar wilayah Indonesia yang
belum tersentuh media, hingga penduduk di wilayah itu tidak pernah
melihat alias tidak hafal wajah presiden Indonesia waktu itu, hanya tau
namanya saja. Begitulah kira-kira kondisi si lelaki. Saking jauhnya dari
wilayah Madinah, ia tidak pernah pernah bertemu dan melihat Umar yang
kala itu adalah khalifah. Ia hanya tau nama, hanya tau bahwa khalifah
saat itu adalah Umar bin Khattab ra.
Sesaat kemudian, Umar mendengar ada rintihan wanita dari balik tenda yang didirikan sang lelaki, ia pun bertanya.
”Siapa itu, kenapa dia merintih?” Tanya sang khalifah
”Kau tidak perlu tau, aku hanya ingin ke kota Madinah menemui khalifah untuk minta bantuan kepadanya,” jawab sang lelaki.
Namun setelah ditanya berkali-kali, akhirnya laki-laki itu mengaku bahwa
istrinya di dalam tenda sedang kesakitan akan melahirkan. Bergegas Umar
pulang dan mengajak istrinya, Ummu Kultsum untuk membantu wanita
tersebut melahirkan. Umar memikul sendiri bekal makanan sementara Ummu
Kultsum membawa perlengkapan untuk melahirkan.
Setibanya di tenda, Ummu Kultsum langsung masuk kedalam dan membantu
proses persalinan sementara Umar membuat api untuk memasak makanan untuk
sang wanita. Tak berapa lama kemudian, Ummu Kultsum menengok keluar
sambil berkata kepada Umar.
”Hai Amirul Mukminin, sampaikan kepada temanmu bahwa ia diberi karunia Alloh anak laki-laki.”
Sapaan ‘Amirul Mukminin’ kepada Umar membuat laki laki tadi kaget,
ternyata seorang baik hati yang menolongnya sedari tadi adalah Umar bin
Khattab sang khalifah. Ia terdiam tatkala mendengar Ummu Kultsum
memanggilnya. Tak lama kemudian, Umar mengantar makanan yang telah ia
masak kedalam tenda untuk diberikan kepada wanita yang baru melahirkan.
Sikap Umar yang tidak mau mengenalkan dirinya sedari awal kepada
laki-laki pendatang itu jelas tanpa bermaksud kemudian membuat laki-laki
itu agar penasaran. Dalam benak saya, Umar pasti berpikir, tidak
penting dikenal namanya, yang penting adalah sumbangsih nyata kita
kepada sesama, sebagai seorang muslim. Biarlah orang lain mengenal kita
dari apa yang kita perbuat, bukan dari apa yang kita jabat. Tersembunyi,
tidak perlu menampakkan siapa kita, apa jabatan kita, yang penting
adalah wujud kerja nyata.
Begitulah kiranya aktivitas kerja dakwah PKS, kader-kader PKS tidak
perlu, tidak harus semua lantas berlomba-lomba memasang spanduk, baliho
atau poster tentang jatidiri mereka. Tidak perlu juga memasang jadwal
agenda kerja dakwah di pinggiran jalan-jalan besar. Tidak perlu harus
ada media yang meliputnya. Tanpa publikasi, kader-kader PKS otomatis
langsung terjun ke masyarakat, memberikan sumbangsih nyata berdasarkan
kemampuan yang dimilikinya.
Contoh kerja nyata yang sederhana, kader PKS memang paling hobby main,
kelayapan, bahasa sundanya 'ulin'. Paling pas sama karakter orang jawa,
'Jalan-jalan Wae', hehe. Silaturrahim kami lakukan secara otomatis,
kadang sporadis, kadang sistemis. Ada moment pemilu atau tidak, kader
PKS tetap hobby silaturrahim. Ini program kerja, sederhana, dan tidak
perlu dipublikasikan. Berita berjudul "Walikota XXX blusukan ke kampung
meninjau selokan-selokan kampung", kemudian ditampilkan di media, di
share ke facebook, di re tweet di twitter, di repost di tumblr dsb, itu
tidak perlu. Semua tersembunyi. Tapi dampaknya sangat terasa di
masyarakat. Keberadaan kita memberi manfaat bagi warga, paling tidak
tetangga. Bukankah itu sebaik-baiknya ummar, yang paling bermanfaat.
Another example, ketika ada bencana alam menimpa suatu daerah. Tanpa
diminta pemerintah (eh ternyata dilarang hehe), kader PKS otomatis
romantis terjun langsung ke lapangan. Syuro singkat padat
diselenggarakan untuk mempermudah koordinasi di lapangan. Kader yang
berprofesi sebagai dokter, perawat, guru, atau kader yang punya hobby
masak, hobby cerita atau kader yang hanya mengandalkan kekuatan fisik
dan semangat, semua tumplek blek di daerah bencana untuk segera membantu
korban.
Tidak perlu lantas juru kamera khusus, ada wartawan resmi yang selalu
ngekor untuk meliput, kemudian dipublikasi di media nasional. Kemudian
menjadi bahan perbincangan. Tidak perlu. Semua dikerjakan secara
'tersembunyi'. Biarlah rakyat yang langsung merasakan keberadaan
kader-kader dakwah yang tergabung dalam wajihah PKS. Biarlah kelak
mereka yang menjadi saksi kemanfaatan yang ada dalam setiap kader.
Media??? Tidak akan lama gemanya, sekejap tergantikan oleh berita lain.
Sekali lagi, Itu semua dilakukan tanpa harus ada media yang tahu,
biarlah rakyat yang langsung merasakan hasil dari amaliyah tersembunyi,
hingga PKS pun semakin dicintai.
***widyo-balikpapan timur***
0 komentar:
Posting Komentar