Korban “Malpraktek” KPK Bisa Merujuk Prof. Romli
Oleh Rizal Amri
Indonesia Lawyers Club (ILC), acara andalan TV One, hari Selasa malam 21
Mei 2013 judulnya cukup aktraktif, “Prahara di PKS Sampai ke Mana ?”.
Namun saya sungguh kurang tertarik, sudah terbayang yang akan terjadi
adalah sahut-sahutan debat kusir antara Fahri, Fajrul, Sutan Batoegana,
dll. Saya hampir saja mematikan TV jika tidak melihat sesuatu yang
sedikit unik, kok meja yang disediakan untuk wakil PKS kosong melompong,
ada apa?.
Walhasil saya coba mengikuti sejenak, ingin tahu bagaimana suasana ILC
jika di-WO oleh “pesakitannya”. Di menit2 awal, ILC malam itu
membosankan juga. Bang Karni hanya mengulang-ulang pertanyaan yang sudah
pernah beliau sampaikan pada episode yang lalu, antara lain mengenai
logika hukum KPK dalam menyita harta orang yang berasal atau
bertransaksi dengan Ahmad Fathanah. Jubir KPK Johan Budi yang di episode
lalu ditodong dengan pertanyaan tersebut, tidak pernah berhasil
memberikan jawaban yang memuaskan. Febri Diansyah SH, peneliti ICW yang
pada kesempatan kali ini mencoba membantu memberikan jawaban, malah
terkesan tidak yakin dengan jawabannya sendiri. Akibatnya, lawyer senior
Teuku Nasrullah menyindir Febri dengan mengatakan, jika ICW terima dana
dari pihak asing, boleh jadi itu dari perjudian atau bisnis narkoba,
bagaimana ICW mengetahuinya, bukankah berprasangka baik saja..
Pertanyaan Bang Karni lainnya yang dimunculkan lagi adalah tentang dasar
hukum penerapan TPPU terhadap swasta. Juga tentang siapa pelaku utama
kasus suap impor sapi yang tentunya mesti seorang penyelenggara negara
dan dalam kapasitas jabatannya tersebut, sesuai UU Tipikor. Sementara
itu peran LHI, mantan presiden PKS, bukan dalam kapasitas penyelenggara
negara. Kali ini Bang Karni tidak bertanya pada Johan Budi, akan tapi
pada Abdullah Hehamahua, mantan penasihat KPK, yang mungkin dianggapnya
lebih mampu menjelaskan. Sayangnya Hehamahua hanya nyengir dan mengelak
untuk menjawab dengan alasan tidak mau mencampuri proses peradilan.
Pertanyaan-pertanyaan yang mengganjal Bang Karni tersebut kemudian
dilempar kepada Prof. Romli Atmasasmita. Suasana sidang ILC mendadak
berubah menjadi seperti kuliah umum. Mahaguru hukum senior ini
memulainya dengan memaparkan rambu-rambu UU Tipikor, masalah trading in
influence, pencucian uang, dll. Orang awam yang kurang melek hukum, saya
yakin tercerahkan. Bahkan para aktifis dan praktisi hukum yunior yang
hadir, seperti dari ICW, Fitra, dll, tentu juga tercerahkan. Prof. Romli
sempat meluruskan pemahaman peneliti ICW Febri Diansyah SH yang
sebelumnya juga berbicara tentang trading in influence, TPPU, dll. Bukan
hanya itu, KPK barangkali “tersengat” pula ketika Prof. Romli
berpendapat bahwa KPK abai terhadap rambu2 UU Tipikor dalam hal
penyitaan barang yang diduga terkait TPPU. Padahal penjelasan
undang-undang cukup jelas dan sengaja dibuat sebagai rambu2 agar tidak
dipakai salah dan agar orang tidak resah. Beliau menyesalkan kurangnya
sosialisasi UU TPPU tersebut sebelum disahkan. Secara tersirat beliau
seperti ingin mengatakan bahwa telah terjadi keteledoran para aparat
penegak hukum.
Prof. Romli boleh dibilang adalah bintang acara ILC malam itu. Beliau
paham betul tafsir pasal demi pasal UU tentang korupsi karena ikut
merancangnya. Tidak heran jika apa yang diutarakannya menjawab tuntas
pertanyaan yang mengganjal di benak Bang Karni selama berpekan-pekan,
mungkin juga pertanyaan, kebingungan dan keresahan publik. Prof. Romli
menjelaskan bahwa tidak semua orang yang terima uang diduga pidana bisa
langsung diklaim (disita). TPPU harus diawali dengan indikasi yang kuat
bahwa harta tersebut berasal dari hasil korupsi.
Menjawab pertanyaan Bang Karni, apakah boleh TPPU dikembangkan ke kasus
lain (setelah kasus dugaan awal tidak bisa dibuktikan). Prof. Romli
menegaskan, “tidak boleh”.
Prof. Romli berpendapat, KPK sangat berat untuk membuktikan bahwa uang
dari Fathonah dari korupsi, pasal TPPU tidak bisa menjerat AF karena
bukan penyelenggara negara.
Beliau menambahkan, sistim hukum Indonesia menganut prinsip non-self implementing legislation.
Konvensi PBB yang memuat aturan trading in influence sekalipun telah di
ratifikasi Indonesia, tidak bisa menjadi rujukan hukum selama belum ada
undang2 pengesahan. Berbeda dengan “law” yang mana cukup lapor ke DPR
bahwa telah diadopsi.
Prof Romli berpendapat, KPK juga akan sulit menjerat LHI karena trading
in influence belum diundangkan. Posisi LHI sebagai anggota DPR tidak
bisa mengatur kuota, sementara itu jabatannya sebagai presiden PKS dalam
kasus tersebut tidak dalam konteks pejabat negara. Sementara itu Mentan
Suswono belum terbukti menambah kuota, alias belum terjadi.
Paling-paling LHI dikenakan tuduhan suap, tapi Luthfi belum terima uang.
KPK harus bisa buktikan LHI belum terima karena terhalang bukan karena
sukarela, jelas Prof Romli.
Sejauh ini dari kesaksian AF dan bukti2 lainnya, termasuk rekaman, belum ditemukan bukti bahwa AF adalah suruhan LHI.
Jika demikian, semua penyitaan yang dilakukan KPK menjadi diragukan dasar hukumnya.
Prof. Romli mengingatkan KPK bahwa pihak yang dirugikan bisa menuntut balik.
Apakah bisa disimpulkan KPK telah melakukan “malpraktek”?, jika demikian
tidak ada salahnya pihak2 yang merasa dirugikan untuk mengadukan KPK ke
Pengadilan Negeri.
Hal ini perlu keberanian, mengingat publik bisa saja menuding para pelapor sedang melakukan kriminalisasi terhadap KPK.
Namun tidak ada salahnya dicoba, demi mencegah terjadinya diktatorisme penegakkan hukum.
Berikut ini pasal tentang rehabilitasi dan kompensasi.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 20 TAHUN 2001
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999
TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
BAB VIII
REHABILITASI DAN KOMPENSASI
Pasal 63
(1) Dalam hal seseorang dirugikan sebagai akibat penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi secara bertentangan dengan Undang-Undang ini atau dengan hukum yang berlaku, orang yang bersangkutan berhak untuk mengajukan gugatan rehabilitasi dan/atau kompensasi.
(2) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak mengurangi hak orang yang dirugikan untuk mengajukan gugatan praperadilan, jika terdapat alasan-alasan pengajuan praperadilan sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
(3) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Pengadilan Negeri yang berwenang mengadili perkara tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54.
(4) Dalam putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditentukan jenis, jumlah, jangka waktu, dan cara pelaksanaan rehabilitasi dan/atau kompensasi yang harus dipenuhi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
*Sumber : http://hukum.kompasiana.com/2013/05/22/korban-malpraktek-kpk-bisa-merujuk-prof-romli-562403.html
0 komentar:
Posting Komentar